HARGA SEBUAH KEPERAWANAN (DAN KEPERJAKAAN)


Hari sabtu 12 oktober kemarin. Aku menghadiri launching novelnya mas rama dan mbak achi yang berjudul mata kedua dan hati kedua. Selama acara itu berlangsung, aku menyadari sesuatu. Usiaku masih sangat muda. Baru dua puluh dua. Kebanyakan teman-teman penulis yang kukenal berhasil menjadi penulis-bukunya diterbitkan-setelah usia mereka lewat 25 tahun atau sudah menikah. Jadi aku tak boleh putus asa dan tak boleh buru2 ingin impian itu terwujud. Masih banyak waktu untuk berjuang. Karena ini masih proses yang belum berakhir.

Malamnya, terjadi perbincangan antara aku dan teman seasramaku yang bernama winner. Saat itu aku sedang asyik membaca buku yang baru kubeli di obral buku gramedia matraman setelah menghadiri acara launching novel sorenya. Tiba-tiba dia bertanya padaku
“Buaji, menurutmu keperjakaan itu penting ga?”

Kujawab. “ Pentinglah.”
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“Ya, karena kau harus tetap perawan sampai menikah. Jadi cowok yang menikahiku juga harus perjaka biar adil.”
“Emang siapa yang mengharuskan kamu perawan sampai menikah?”
“Norma masyarakat.”
“Nah, itu dia masalahnya. Kita itu terlalu terkungkung dalam norma masyarakat.”
“Tapi kan, Win. Kita hidup dalam masyarakat. Dan kita gak bisa melepaskan diri dari norma-norma tersebut. Terus juga ada nilai-nilai dalam agama.”
“Emang agama mengharuskan kita perawan saat menikah?” tanyanya lagi. Dia terus mencecarku.
“Tapi, di Alqur’an itu ada larangan untuk berzina. Jadi secara tidak langsung itu juga menyuruh kita untuk menjaga keperawanan sampai menikah.” Achi yang juga mendengarkan percakapan kami ikut nimbrung.
“Terus juga win, yang terpenting buatku adalah. Kedua orang tuaku. Mereka bagian dari masyarakat yang menganut norma itu. Jika aku melanggarnya, aku akan menyakiti hati mereka. Dan itu yang aku gak bisa.” Kataku menambahi.
“Nah, itu dia buaji. Ini semua udah turun temurun, jadi kita gak bisa lepas dari itu. Padahal keperawanan itu punya siapa sih? Punya kita kan? Jadi kita yang berhak nentuin mau diapain keperawanan kita itu.”
Untuk sesaat aku terdiam. Memikirkan jawaban tepat yang akan kuungkapkan. Ngomong ama orang satu ini gak bisa sembarangan, dia jago debat, apalagi dia mempelajari Public Relation di jurusannya, jadi wajar dia pinter berdiplomasi. Sampai kemudian sesuatu muncul di kepalaku. Lalu aku segera mengatakannya.
“Tapi, Win. Kalo menurut gue. Keperawanan itu kan punya gue, jadi terserah gue dong mau ngasih keperawanan gue ke siapa. Dan buat gue, yang berhak gue kasih keperawanan gue adalah orang yang berani menjadikan gue sebagai tanggung jawabnya di dunia dan akhirat dengan menikahi gue. Itu  kayak semacam hadiah buat dia yang udah mengambil langkah besar dengan menjadikan gue sumber kebahagiannya. Karena itu dia dia juga harus ngasih hal yang sama ke gue, yaitu keperjakaanya.”
“Kalo elu bilang gitu dari tadi gue gak akan bantah terus buaji. Gitu dong.” Katanya menyudahi pembicaraan. Dasar nih anak, seenaknya aja bikin kepala orang muter.
Tapi kemudian, setelahnya aku berpikir semalaman. Sebenarnya keusilan winner yang mengajakku diskusi tiba-tiba tentang keperawanan berguna juga, membuatku merenung. Dan menyadari sesuatu. Tubuhku adalah milikku, termasuk keperawananku. Dan memang keputusan untuk menyerahkan keperawananku sepenuhnya ada di tanganku. Dan tentunya aku gak mau sembarangan mengumbar hal yang hanya aku miliki satu-satunya dan paling berharga setelah nyawaku yang juga cuma satu. Karenanya, suamiku nanti juga harus perjaka. Karena harga sebuah keperawanan jauh lebih tinggi dari keperjakaan.
Bagaimana tidak? Menjaga keperawanan itu lebih sulit daripada menjaga diri kita agar tetap bernyawa. Sejak jaman dahulu kala, seorang perempuan dituntut untuk tetap perawan sampai menikah sedangkan laki-laki tidak. Bahkan di dunia modern ini, ada cara untuk mengetes keperawanan sedangkan tes keperjakaan tidak ada. Tentu kita semua tahu tentang wacana tes keperawanan di SMA di daerah Prabumulih yang mendapat tentangan dari berbagai pihak.  Sedangkan tak pernah sekalipun ada yang mencanangkan tentang tes keperjakaan, mengapakah ketidakadilan begitu terasa disini? Bahkan jika seorang perempuan kehilangan keperawanannya karena diperkosa, masyarakat akan tetap menyalahkannya dan tak akan ada yang mau menikahkan putranya dengan perempuan yang telah ternoda. It’s very clear and unfair! seorang perempuan harus begitu menjaga keperawanannya, sedangkan laki-laki dengan bebas mengumbar birahinya dimana dan kapan saja. Terbukti dengan banyaknya pelecehan seksual yang terjadi.

So, aku rasa hal yang pantas ketika aku menuntut keperjakaan dari calon suamiku nanti. Karena aku hanya akan menyerahkan milikku yang paling berharga yang kujaga dengan nyawa kepada orang yang juga menjaga diri dan miliknya hingga sampai ikatan suci pernikahan.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW CERPEN “ SALAWAT DEDAUNAN “

Review Film Hamari Adhuri Kahani

Quote dari Buku Sang Alkemis Paulo Coelho