PROSES PEWAHYUAN AL-QUR’AN

A.    Pengertian Wahyu
Perkataan "Wahyu" adalah berasal dari kata dalam bahasa Arab yang berasal dari perkataan "awha" bermaksud; inspirasi dari orang lain atau arahan seseorang. Secara umumnya,wahyu ialah perintah atau kata-kata Allah (كلام الله) SWT yang disampaikan kepada para rasul-Nya.
Dikatakan wahaitu ilaih dan auhaitu, bila kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu ialah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagaian anggota badan.
Al-wahyu adalah kata masdar/infinitif, dan materi kata itu menunjukkan dua dasar, yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, maka dikatakan bahawa wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus diberikan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi kadang-kadang juga bahwa yang dimaksudkan adalah al-muha, yaitu pengertian isim maf’ul yang diwahyukan.[1]
Wahyu menurut Kamus Al-Mufrâdât fî Ghara`ibi`l-Qur`ân, makna aslinya adalah al-‘Isyaratu`s-sarî’ah. Artinya, isyarat yang cepat yang dimasukkan ke dalam hati seseorang atau ilqâ’un fi`r-rau`i, maksudnya yang disampaikan dalam hati.
Nabi Muhammad sebagai salah seorang rasul (pesuruh) Allah SWT juga menerima wahyu yang disampaikan melalui perantara malaikat Jibril. Wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW ialah Surah Al-‘Alaq (سورة العلق) ayat 1-5:
أقرأ باسم ربك الذي خلق . خلق الإنسان من علق . اقرأ وربك الأكرم . الذي علم بالقلم . علم الإنسان مالم يعلم
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah yang Maha mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”  (Q.S Al-‘Alaq ayat 1-5)[2]
Menurut Manna` Khalil al-Qattan dalam bukunya Studi ilmu-ilmu al-Qur’an,  pegertian wahyu dalam arti bahasa meliputi[3] :
1.      Ilham, sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa,
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: Susukanlah dia; dalam pada itu, jika engkau takutkan sesuatu bahaya mengenainya (dari angkara Firaun), maka (letakkanlah dia di dalam peti dan) lepaskanlah dia ke laut dan janganlah engkau merasa bimbang dan jangan pula berdukacita; sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan Kami akan melantiknya menjadi salah seorang dari Rasul-rasul Kami. (Surah Al-Qasas: 7)
2.      Ilham berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah,
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُون
Dan Tuhan kamu telah mewahyukan (memerintahkan) kepada lebah “buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat mabusia” (Surah An-Nahl: 68)
3.      Isyarat yang cepat melalui rumus dan kod, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Alquran, “Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka, “Hendaknya kamu bertasbih di waktu pagi dan petang’.(Maryam: 11).
4.       Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاء رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu(manusia).(Surah Al-An'aam: 112)
5.      Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. “Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman’.” (Al-Anfal: 12).
Sedang wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syar’i mereka definisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu almuha (yang diwahyukan). Ustad Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid adalah pengetahuan yang didapati oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali. Perbedaan antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang.
Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar. Definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf, tetapi pembedaannya dengan ilham di akhir definisi meniadakan hal ini.
Dalam pandangan populer dikalangan umat Islam, di dalam wahyu terdapat dua hal yang saling berkaitan dan diterima begitu saja, yaitu Allah dan telah terbungkus dalam sebuah baju berupa kalimat dan kata-kata; “penurunan” adalah proses transmisi wahyu redaksional itu kepada Nabi dengan cara langsung yaitu “diturunkan”. Kata “diturunkan” mengandaikan bahwa wahyu adalah sesuatu yang datang dari ketinggian. Inilah konsep yang dikenal sebagai tanzil atau inzal. Inilah pengertian wahyu yang diterima dan dianut oleh umat Islam pada umumnya. Wahyu adalah tanzil atau sesuatu yang  diturunkan secara harfiah
Dalam pengertian yang lebih spesifik di kalangan agama-agama, wahyu bukan sekedar “kebenaran” yang diredaksikan, tetapi ia adalah firman Tuhan. Dengan kata lain, wahyu adalah firman Tuhan, bukan kalimat biasa yang berasal dari manusia.[4]

B.    Macam dan Model Pewahyuan
Menurut Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, diterimanya wahyu oleh Nabi Muhammad SAW merupakan peristiwa yang sangat besar. Turunnya merupakan peristiwa yang tidak disangka-sangka. Begitulah Allah memberikan titahNya kepada manusia terpilih.
Secara syar'i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabi-Nya dan para rasul-Nya tentang syari'at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan perantara atau tanpa perantara. Wahyu secara syar'i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun isinya.[5]
Allah memberikan wahyu kepada para Rasul-Nya ada yang melalui perantara dan ada yang tidak melalui perantara.[6]
1.      Tanpa melalui perantara, diantaranya ialah :
a)      Mimpi yang benar dalam tidur.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : أول مابدئ به النبى صلى الله عليه وسلام الرأيا الصالحة فى النوم فكان لا يرى رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصبح
Dari Aisyah r.a, dia berkata : Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar diwaktu tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.
Hal itu merupakan persiapan bagi Rasulullah untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, tidak tidur. Dalam al-Qur’an wahyu diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar.
b)      Yang lain ialah Kalam Ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara, ini terjadi pada Nabi Musa a.s
ولما جاء موسى لميقاتنا وكلمه ربه قال رب أرني أنظر إليك (الأعراف : ۱٤٣)
“Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami di waktu yang telah Kami tentukan  dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata : “Wahai Tuhan, tampakanlah diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (al-A’raf : 143)
2.      Melalui Jibril, malaikat pembawa wahyu. Cara-cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul, yaitu :
Pertama: Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali. Pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah masa vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al 'Alaq diturunkan, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah SAW di mi`rajkan.
Kedua: datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu.
Ketiga: malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara ini lebih ringan daripada cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar.
Keempat:  Wahyu disampaikan dengan cara dibisikkan ke dalam kalbu. Mengenai hembusan di dalam hati, telah disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW :
إن روح القدس نفث فى روعى أنه لن تموت نفس حتى تستكمل رزقها وأجلها, فاتوا الله وأجملوالافى الطلب
“Roh kudus telah menghembuskan ke dalam hatiku bahwa seorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan ajalnya. Maka bertaqwalah kepada Allah, dan carilah rezeki dengan jalan yang baik.” (HR. Bukhari)
C. Wahyu sebagai Proses Komunikasi
            Izutsu (1997) mengemukakan adanya dua prasyarat komunikasi linguistik:
a)      Tersedianya sistem isyarat (bahasa) yang sama-sama dimiliki oleh pelibat tutur
b)       Kesamaan hakikat onologis pelibat tutur.
Agar terjadi komunikasi yang efektif, penutur  harus berbicara dengan bahasa yang dapat difahami oleh mitra tutur.
Makna sentral wahyu adalah “pemberian informasi” secara rahasia. Dengan kata lain, wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pengertian pemberian informasi – pesan-secara samar dan rahasia. Oleh karena “pemberian informasi” dalam proses komunikasi dapat berlangsung apabila melalui kode tertentu maka dapat dipastikan bahwa kode melekat(inherent) di dalam konsep wahyu, dan kode yang digunakan dalam proses komunikasi tersebut pastilah kode bersama antara pengirim dan penerima, dua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut[7]
Alqur’an merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Dengan kata lain, pewahyuan Alqur’an melibatkan Tuhan sebagai penutur dan manusia sebagai mitra tutur. Hal itu berarti entitas pelibat tuturnya sangat berbeda. Disini jelas bahwa penutur dan mitra tutur tidak berhadapan secara horisontal berdasarkan kesamaan tingkat entitasnya. Sebaliknya, hubungan yang ada adalah hubungan vertikal. Dalam hal ini penutur berada jauh diatas sebagai entitas yang paling tinggi. Sedangkan mitra tutur berada di bawah, mewakili tingkat entitas yang jauh lebih rendah.
Al-Kirmani (1939) dalam syarahnya terhadap kumpulan hadits Al-Bukhari mengemukakan bahwa wahyu merupakan komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia. Akan tetapi, secara teoritis tidak dimungkinkan pertukaran kata (ta‘awur), juga pengajaran (ta’lim), ataupun belajar (ta’allum), kecuali kalau disadari oleh kedua pihak adanya bentuk persamaan yang pasti, yakni hubungan (munasabah) dari pembicara (al-qail) dan pendengar (al-sami). Lebih lanjut  Al-Kirmani menjelaskan bahwa komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia yang berbeda tingkat ontologisnya itu dapat terjadi melalui dua kemungkinan transformasi, yakni:
a)      Mitra tutur mengalami transformasi yang mendalam di bawah pengaruh kekuatan supranatural penutur atau
b)      Penutur turun dan menggunakan atribut pendengarnya
Dalam konteks pewahyuan Alqur’an, tampaknya terjadi dua jenis transformasi kepribadian yang di kemukakan Al-Kirmani tersebut. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Aisyah, Nabi Muhammad menjawab pertanyaan Al-Harits bin Hisyam tentang cara datangnya wahyu sebagai berikut.
“Kadang-kadang wahyu datang seperti suara gemericingnya lonceng yang membuat saya merasa kesakitan; setelah suara gemerincing itu hilang saya menyadari apa yang di katakan Allah. Pada kesempatan lain, malaikat datang kepadaku dalam bentuk seseorang dan berbicara kepadaku, saya pun mengerti yang dikatakannya”
Di dalam Al-Qur’an surat Asy-Syura/42:51, yang artinya sebagai berikut:
“Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Tinggi, Maha Bijaksana.”
Dalam ayat ini di kemukakan tiga cara komunikasi pewahyuan,yaitu:
a)      Melalui wahyu, suatu cara komunikasi di luar jangkauan kesadaran manusia,
b)      Melalui balik layar, dalam arti Rasul mendengar tuturan tertentu tetapi tidak mampu melihat penuturnya, dan
c)      Melalui utusan, yaitu proses komunikasi tatap muka antara Rasul dan Malaikat
Separuh pertama hadits di atas dan bagian pertama ayat 51 surat Asy-Syura merupakan gambaran dari komunikasi pewahyuan dengan transformasi kepribadian dipihak penutur. Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa hambatan perbedaan tingkat entitas dapat diatasi dengan transformasi kepribadian. Adapun prasyarat pertama yang digunakannya sistem tanda yang sama-sama dimengerti oleh pelibat tutur telah terpenuhi dengan digunakannya bahasa arab sebagai sistem tanda komunikasi pewahyuan Alqur’an antara Tuhan sebagai penutur dan Muhammad sebagai mitra tutur. Hal itu berarti, dua prasyarat komunikasi linguistik pewahyuan dapat terpenuhi. Dengan, komunikasi pewahyuan Alqur’an tidak lain merupakan komunikasi linguistik.
D. Al-Qur’an sebagai Wahyu Verbal
Dalam konteks Alqur’an metode hermeneutika, atau meminjam istilah Arkoun metode interpretasi epistemologis baru digunakan untuk mengkaji asal-usul wahyu atau kalam Allah, dan Alquran. Diakui bahwa wahyu itu berasal dari Tuhan. Hanya saja,menurut Arkoun, wahyu Tuhan itutak terbatas. Arkoun yang dipengaruhi pandangan Paul Ricoeur yang populer dengan bukunya The Rule of Methaphor (1977) kemudian memilah tahap-tahap Kalam Allah(KL), Wacana Qurani (WQ), Korpus Resmi Tertutup (KRT) dan Korpus Tertafsir (KT). Menurutnya, Wahyu atau kalam Allah sebagai logos (pengetahuan) tidak terbatas, namun ketika kalam itu disampaikan kepada nabi untuk disampaikan kepada umatnya itu hanyalah penggalan dari kalam Allah yang tak terbatas. dari sinilah pemilahan wahyu verbal (dilisankan) dan wahyu non verbal.
Alqur’an sebagai wahyu verbal dipahami sebagai wahyu yang diturunkan secara lisan bukan tertulis dan Nabi pun menyampaikan wahyu tersebut secara lisan kepada para sahabat dan menyuruh mereka menghafalkannya. Bagaimana Alqur’an menjadi wahyu yang verbal? karena Nabi yang diutus untuk menyampaikan wahyu tersebut adalah seorang yang ummi (buta huruf) tidak bisa baca tulis.
Menurut riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah: bahwa Nabi Saw sering mengunjungi Gua Hira, disana beliau menyendiri beberapa malam, untuk itu beliau selalu berbekal. Kemudian kembali kepada Khadijah yang kemudian membekalinya lagi seperti biasa. Sekali waktu, ketika berada di Gua Hira, tiba-iba beliau didatangi kebenaran. Malaikat Jibril berkata: “bacalah!”  Muhammad Saw menjawab: “aku tidak bisa membaca.” Rasulullah selanjutnya mengisahkan, katanya: Ia merangkulku sampai aku betul-betul lelah, kemudian ia melepaskanku dan berkata: “bacalah!” aku menjawab: “aku tidak bisa membaca.” Kembali ia merangkulku untuk ketigakalinya sampai aku betul-betul lelah, lalu melepaskanku dan berkata: “bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan....”sampai kalimat”...apa yang tidak kamu ketahui” kemudian Rasulullah kembali dengan hati gemetar. (Al Hadits).
            Ibn Asythah dalam Kitabul-Mashahif, bersumber dari Ubaid bin Umair, berkata : Jibril datang kepada Nabi Saw membawa sehelai kain sutra, lalu berkata: ”bacalah!” Nabi menjawab.aku tidak bisa membaca” kemudian ia (Jibril) berkata: “bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.” Mereka berpendapat bahwa ayat ini adalah wahyu pertama yang turun dari langit. Az-Zuhri meriwayatkan, bahwa Nabi Saw sedang berada di Gua Hira ketika didatangi malaikat dengan membawa kain sutra bertuliskan Iqra’bismirobikalladzi khalaq...sampai..ma lam ya’lam.[8]
            Jelaslah disini bahwa wahyu dituturkan secara lisan oleh malaikat Jibril karena nabi tak bisa membaca.
            Namun demikian, meski Alqur’an sebagai wahyu verbal dimaknai sebagai wahyu yang dilisankan oleh Nabi bukan berarti Alqur’an adalah hasil kata-kata Nabi SAW sendiri. Alqur’an dengan lafalnya adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantaraan seorang malaikat yang dekat dengan-Nya. Malaikat yang menjadi perantara itu, yang disebut Jibril dan Ruhul Amin, datang membawa firman Allah kepada Rasulullah dalam berbagai waktu yang berbeda selama dua puluh tiga tahun. Rasul pun membacakan ayat-ayat tersebut kepada manusia, dan memberitahukan makna-maknanya kepada mereka, serta mengajak mereka untuk menerima akidah, tata sosial, hokum-hukum, dan tugas-tugas perseorangan yang terungkap dalam Alqur’an.
            Pandangan pertama tentang wahyu dan kenabian adalah pandangan para pengkaji yang menekuni ilmu-ilmu materialistik-kealaman. Mereka berpandangan bahwa segala yang terdapat di alam mahluk ini terbatas pada hukum-hukum kealaman, sebab utama semua peristiwa dan kejadian adalah alam itu sendiri. Oleh karena itu, mereka memandang ajaran-ajaran samawi sebagai proses-proses sosial dan mengukurnya dengan ukuran-ukuran peristiwa-peristiwa sosial tertentu.
            Pandangan tadi menyatakan bahwa pikiran-pikiran suci Nabi Muhammad Saw adalah firman Allah. Hal ini berarti bahwa gagasan-gagasan itu adalah seperti gagasan-gagasan Nabi sendiri. Alqur’an dengan tegas menyatakan gagasan-gagasan dan ayat-ayat ini bukanlah kata-kata Nabi,dan bukan pula gagasan dan kata-kata manusia lainnya, melainkan merupakan firman Allah Swt. Allah berfirman dalam QS 10:38, yang artinya :
            atau mereka itu mengatakan:’Muhammad membuat-buat alqur’an.’ Katakanlah:’datangkanlahsebuah surah yang menyamai Alqur’an dan panggillah orang-orang yang dapat kau panggil (untuk membantumu) ,jika kamu orang-orang yang benar”
            Juga dalam QS 4:82 Allah berfirman yang artinya :
            “ Tidakkah mereka merenungkan Alqur’an? Seandainya ia itu dari sisi selain Allah,tentu mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.”
            Qur’an Surat 4:82 ini menunjukkan tidak adanya perubahan selama dua puluh tiga tahun pada gaya ungkapan, dan istilah maknanya. Jika Alqur’an itu adalah kata-kata manusia, tentu ia akan mengalami perubahan. Jelaslah bahwa Alqur’an adalah firman Allah Swt. Disamping itu, dalam beratus-ratus ayat Alqur’an menyebutkan mukjizat-mukjizat, atau hal-hal yang menyalahi kebiasaan alam, yang di tunjukkan oleh para nabi. Dengan mukjizat-mukjizat itu, mereka membuktikan kenabian mereka. Seandainya kenabian itu merupakan panggilan suara hati, dan wahyu merupakan gagasan-gagasan suci manusia sebagaimana dikatakan oleh pandangan tadi-niscaya Alqur’an tidak perlu menunjukkan bukti kenabian para nabi dengan memaparkan kisah-kiasah tentang mukjizat-mukjizat dan kekeramatan.
            Yang dapat dipahami dari ayat-ayat Alqur’an adalah bahwa ayat-ayat itu memandang Alqur’an sebagai kitab samawi yang diberika kepada Nabi Muhammad Saw melalui wahyu. Sedangkan wahyu adalah perkataan samawi (nonmateri) dan tidak dapat dijangkau oleh indra-indra lahir dan akal, melainkan melalui pemahaman yang di karuniakan Allah kepada orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehinga ia dapat menerima perintah-perintah-Nya dari alam ghaib yang tidak dapat di indrai oleh akal dan indra-indra yang lain. Penerimaan dan pelaksanaan perintah-perintah ini dan titah-titah Allah disebut “kenabian”[9]



[1] Manna` Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, hal. 36
[2] Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, Mushaf al-Qur’an Terjemah, hal. 598
[3] Manna` Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, .... ibid hal. 36-38
[4] Abd Muqsith Ghazali. Dkk, Metodologi Study Al-Qur’an, hal. 55
[5] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah
[6] Manna` Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an,...ibid, hal. 44-50
[7] Nasr Hamid Abu Zaid. Tekstualitas Al-Qur’an. Hal. 30
[8] Abu Abdullah Az-Zanjani, Wawasan Baru Tarikh al-Qur’an, hal. 304-305
[9] Allamah MH Thabathaba`i, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an. Hal. 133-155

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW CERPEN “ SALAWAT DEDAUNAN “

Review Film Hamari Adhuri Kahani

Quote dari Buku Sang Alkemis Paulo Coelho