(Cerpen) Ringkih Bagai Porselen
Untuk kesekian kalinya aku melihat dia menangis di bangku taman
ini, di tempat biasa aku mencari uang. Kuhampiri ia sembari menenteng
gitar butut kesayanganku yang selalu menemaniku selama ini. Aku duduk di
sampingnya dan mulai mulai memetik senar gitarku, menyanyikan sebuah
lagu untuk menghiburnya.
engkau yang sedang patah hati
menangislah dan jangan ragu ungkapkan
betapa pedih hati yang tersakiti
racun yang membunuhmu secara perlahan
engkau yang saat ini pilu
betapa menanggung beban kepedihan
tumpahkan sakit itu dalam tangismu
yang menusuk relung hati yang paling dalam
hanya diri sendiri yang tak mungkin orang lain akan mengerti
engkau yang hatinya terluka
dipeluk nestapa tersapu derita
seiring saat keringnya airmata
tak mampu menahan pedih yang tak ada habisnya
hanya diri sendiri yang tak mungkin orang lain akan mengerti
disini kutemani kau dalam tangismu
bila airmata dapat cairkan hati
kan kucabut duri pedih dalam hatimu
agar kulihat, senyum ditidurmu malam nanti
anggaplah semua ini satu langkah dewasakan diri
dan tak terpungkiri juga bagi dirimu….
kuakhiri laguku dan kulihat dia menyimpul senyum padaku, meskipun pahit. Yah, kami telah berteman selama beberapa minggu ini. Dia yang selalu datang ke taman untuk menangis, menangisi kehidupannya yang malang. lebih malang dariku yang seorang pengamen jalanan sebatangkara. dia harus menghadapi perceraian orangtuanya, dan berjuang melawan penyakit kankernya.
” Makasih, Putra.” Ucapnya diantara sedu sedan yang belum reda.
” Ada apa, Dis?” tanyaku
dengan terbata dan isak yang masih terdengar sesekali, Gadis bercerita bahwa ia baru saja diputuskan oleh Boy, pacarnya. Padahal Gadis sedang butuh dukungan menghadapi masalah orangtuanya dan juga penyakitnya.
” Dia bilang, aku terlalu ringkih seperti porselen. Dia gak suka cewek rapuh kayak aku.” isaknya kembali terdengar.
aku tercenung memandanginya, mengapa cewek sebaik Gadis harus menanggung beban berat seperti ini?
Kamu memang seperti porselen, Gadis. Cantik namun rapuh. Karena itu aku akan selalu menjaga dan melindungi porselen itu agar tetap indah dan takkan pecah. ikrarku dalam hati.
———————————–
song by: Last Child
engkau yang sedang patah hati
menangislah dan jangan ragu ungkapkan
betapa pedih hati yang tersakiti
racun yang membunuhmu secara perlahan
engkau yang saat ini pilu
betapa menanggung beban kepedihan
tumpahkan sakit itu dalam tangismu
yang menusuk relung hati yang paling dalam
hanya diri sendiri yang tak mungkin orang lain akan mengerti
engkau yang hatinya terluka
dipeluk nestapa tersapu derita
seiring saat keringnya airmata
tak mampu menahan pedih yang tak ada habisnya
hanya diri sendiri yang tak mungkin orang lain akan mengerti
disini kutemani kau dalam tangismu
bila airmata dapat cairkan hati
kan kucabut duri pedih dalam hatimu
agar kulihat, senyum ditidurmu malam nanti
anggaplah semua ini satu langkah dewasakan diri
dan tak terpungkiri juga bagi dirimu….
kuakhiri laguku dan kulihat dia menyimpul senyum padaku, meskipun pahit. Yah, kami telah berteman selama beberapa minggu ini. Dia yang selalu datang ke taman untuk menangis, menangisi kehidupannya yang malang. lebih malang dariku yang seorang pengamen jalanan sebatangkara. dia harus menghadapi perceraian orangtuanya, dan berjuang melawan penyakit kankernya.
” Makasih, Putra.” Ucapnya diantara sedu sedan yang belum reda.
” Ada apa, Dis?” tanyaku
dengan terbata dan isak yang masih terdengar sesekali, Gadis bercerita bahwa ia baru saja diputuskan oleh Boy, pacarnya. Padahal Gadis sedang butuh dukungan menghadapi masalah orangtuanya dan juga penyakitnya.
” Dia bilang, aku terlalu ringkih seperti porselen. Dia gak suka cewek rapuh kayak aku.” isaknya kembali terdengar.
aku tercenung memandanginya, mengapa cewek sebaik Gadis harus menanggung beban berat seperti ini?
Kamu memang seperti porselen, Gadis. Cantik namun rapuh. Karena itu aku akan selalu menjaga dan melindungi porselen itu agar tetap indah dan takkan pecah. ikrarku dalam hati.
———————————–
song by: Last Child
Komentar
Posting Komentar