6 Kesalahan orangtua yang membuat anak trauma hingga dewasa

Setiap anak berhak untuk dicintai dan merasa dirinya berharga. Keluarga, dalam hal ini orangtua, adalah tempat pertama seorang anak belajar tentang cinta dan menumbuhkan rasa percaya diri bahwa ia layak dan berharga untuk dicintai siapa saja.

Dan sayangnya, tidak semua orangtua mampu melakukan pengajaran tentang cinta pada anaknya dengan baik. Orangtuaku adalah salah satunya.




Beberapa hal yang mereka lakukan selama membesarkanku masih menghantuiku hingga sekarang, menumbuhkan rasa tidak percaya diri dan pada akhirnya aku merasa tak cukup berharga untuk dicintai. Karena jika orangtuaku sendiri saja tidak mampu mencintaiku, bagaimana orang lain bisa?

Banyak sekali kesalahan mereka sebagai orangtua dalam mendidik anak. Dan aku telah bersumpah pada diriku sendiri, bahwa anak-anakku nanti tidak akan memiliki masa kecil sepertiku.

Anak-anakku akan tumbuh menjadi pribadi yang ceria, percaya diri dan tidak akan pernah merasa bahwa orangtuanya berhutang maaf pada mereka atas masa kecil yang kurang bahagia, seperti yang kurasakan pada orangtuaku.

1) Membedakan anak lelaki dan anak perempuan


Sejak kecil, ibuku sudah menegaskan bahwa perempuan wajib menguasai pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci baju, mencuci piring, menyapu dan mengepel. Karena itulah yang harus aku lakukan jika aku menikah nanti.

Dan secara jelas ibuku juga menyampaikan bahwa pekerjaan rumah tangga tak pantas dilakukan oleh lelaki, karena saat menikah akan ada yang mengurus mereka, jadi mereka tak perlu belajar tentang pekerjaan domestik.

Dalam hal pendidikan pun, anak lelaki dan perempuan dibedakan. Anak lelaki diharuskan bersekolah sampai SMA, karena mereka harus bekerja untuk menafkahi keluarganya saat menikah nanti. Sedangkan anak perempuan cukup sampai SMP saja, karena pada akhirnya mereka akan mengurusi rumah.

Hanya keinginan kuat dan keras kepala serta perasaan ingin balas dendam terhadap ketidakadilan yang kurasakan membuatku pantang menyerah memperjuangkan pendidikanku hingga bisa meraih beasiswa kuliah dan orangtuaku tak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun untuk pendidikanku selama 4 tahun di Jakarta.

Saat aku memiliki anak nanti, aku akan menanamkan pada mereka bahwa anak lelaki dan perempuan sama berharganya. Pekerjaan rumah tidak hanya harus dikuasai oleh perempuan, laki-laki juga harus mampu melakukannya agar dia bisa membantu istrinya nanti.

Nabi Muhammad SAW saja juga membantu istrinya mengurus rumah, mengapakah kita tak bisa meneladaninya? Urusan pendidikan pun takkan kubedakan, lelaki dan perempuan harus menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Agar anak-anakku bisa meraih apapun yang mereka inginkan di masa depan jika pendidikan mereka memadai.

Karena aku sadar, menempuh pendidikan tinggi, bukan cuma untuk meraih gelar, tapi juga menambah koneksi dan pengalaman hidup yang jauh lebih matang dibandingkan hanya sekolah sampai SMP/SMA saja.

2) Selalu memberi hukuman atas kesalahan yang diperbuat anak dan tak pernah memberikan hadiah/pujian terhadap prestasi anak.


Setiap anak berhak diberi pujian atau bahkan hadiah jika ia meraih suatu prestasi. Tapi orangtuaku tak pernah melakukannya. Sebanyak apapun anak mereka menuai prestasi, akan mereka tanggapi dengan datar, tanpa pujian apalagi hadiah. Saat sekolah dasar, aku rutin mendapat rangking kedua di kelas, setiap tahun.

Tapi orangtuaku menganggap hal itu biasa, satu-satunya reaksi yang kudapat adalah ketika aku mendapat rangking tiga. Itupun marah-marah. Bahkan saat aku tak mampu mendapat rangking di SMP dan SMA, mereka menyalahkanku dan bilang aku kurang belajar.

Padahal bukannya aku kurang belajar, hanya saja aku masuk kelas unggulan dimana teman-teman sekelasku begitu cerdas dan mendapat fasilitas belajar yang baik dari orangtuanya, tak sepertiku.

Selama sekolah aku ikut berbagai kegiatan, lomba, ektrakurikuler dan lainnya. Aku pernah membawa piala dan piagam ke rumah. Tapi aku tak mendapat respon bahagia ataupun bangga dari kedua orangtuaku. Namun ketika aku gagal di ujian munaqosyah sekolah, ayah mendiamkanku selama seminggu.

Padahal nilai munaqosyah itu tak mempengaruhi nilai pelajaranku yang lain, karena munaqosyah hanya pelajaran tambahan dan kebijakan lokal sekolah saja. Aku tetap naik kelas. Namun rupanya orangtuaku tak mampu melihat sedikitpun kesalahan pada anaknya.

Mereka menuntut kesempurnaan tanpa pernah sekalipun memberikan penghargaan atas kerja keras yang dilakukan anaknya.

Sepanjang hidupku, aku selalu bekerja keras untuk mendapat pengakuan dari orangtuaku bahwa mereka bangga terhadapku. Di saat teman-teman sebayaku menikmati masa remaja mereka dengan jalan-jalan, bersenang-senang dan pacaran. Aku sibuk belajar, mengurus ekstrakurikuler, ikut lomba sana sini.

Tapi orangtuaku tak pernah memberikan apresiasi pada kegiatanku. Meski semua teman dan tetangga mengatakan bahwa mereka kagum dan bangga padaku, tapi semua itu terasa tak bermakna ketika orangtuaku tak pernah mengatakan hal yang sama.

Aku takkan pernah melakukan hal itu pada anakku. Setiap anak akan kudidik dengan metode reward and punishment yang seimbang. Setiap hal baik yang mereka lakukan sekecil apapun itu aku akan menyanjungnya, dan jika mereka melakukan kesalahan aku akan memberi hukuman yang tak membuat trauma, tapi membuat mereka belajar menjadi lebih baik. Itu sumpahku.

3) Mengkritisi setiap pilihan anak dalam hidupnya


Saat naik kelas dua SMA, aku memilih Jurusan Bahasa karena memang jurusan itulah yang kuinginkan. Aku suka menulis, dan hanya di Jurusan Bahasa ada mata pelajaran Sastra Indonesia. Aku tak peduli dengan ucapan temanku yang mengatakan bahwa Jurusan Bahasa berada di bagian paling bawah piramida Jurusan, dimana Jurusan IPA menjadi jurusan yang paling unggul dan difavoritkan.

Aku sudah menyampaikan pilihan jurusanku tersebut kepada ibuku, dan dia hanya bilang terserah padaku. Maka akupun masuk Jurusan Bahasa dan menikmatinya. Bahkan mematahkan anggapan bahwa murid jurusan Bahasa tidak bisa berprestasi.

Aku dan teman-temanku di Jurusan Bahasa banyak yang menjadi ketua Ekstrakurikuler, bahkan mengadakan event tahunan yang diikuti oleh seluruh kelas dan jurusan di sekolah. Tak ada jurusan lain yang bisa melakukannya.

Kemudian, sebelum naik ke kelas tiga. Sekolah mengadakan Study Tour ke Jakarta. Lokasi tujuan Study Tour dibedakan berdasarkan Jurusan. Jurusan Bahasa mengunjungi Pusat Kebudayaan Perancis, Jurusan IPS pergi ke Museum Bank Indonesia, dan Jurusan IPA pergi ke Pabrik.

Sepulang Study Tour, Ayahku mengomel karena menganggap study tour yang dilakukan jurusanku tidak bermanfaat. Berbeda dengan jurusan IPA yang bisa belajar tentang cara kerja di pabrik. Ayahku menyalahkan pilihanku untuk masuk jurusan Bahasa.

Aku hancur saat itu, aku menangis di hadapan sahabat-sahabatku karena masalah itu. Jika memang ayahku tak setuju dengan pilihan jurusanku, mengapa ia tidak mengatakannya sejak awal? Mengapa dia baru mengatakan saat aku sudah mau naik kelas tiga.

Hal yang sama terulang setelah aku lulus kuliah. Orangtuaku menyalahkan pilihan jurusanku karena menurut mereka jurusan falsafah agama susah mencari kerja. Padahal selama empat tahun kuliah, mereka tak pernah berkata apapun.

Mereka juga tak pernah menelepon untuk menanyakan kabarku, atau menanyakan apakah uang beasiswaku cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sama sekali tidak. Maka ucapan mereka kali ini kuanggap angin lalu saja.

Aku tidak akan pernah melakukan itu pada anakku. Aku akan mendukung setiap pilihan yang dibuat oleh anakku, tentunya dibarengi dengan ketegasan agar mereka bertanggung jawab terhadap setiap pilihan yang mereka ambil. Seperti yang aku lakukan selama ini.

4) Memarahi anak saat melakukan kesalahan ketika belajar mengerjakan sesuatu


Seperti yang kusampaikan di awal tadi, sejak kecil aku diharuskan belajar mengurus rumah. Suatu hari, tanpa sepengetahuan orangtuaku aku menggantikan ibuku mencuci baju kotor semua orang di rumah.

Aku ingin membuat ibuku terkejut dan bangga karena aku sudah bisa meringankan pekerjaannya. Tapi yang kudapati malah bentakan dan kata-kata kasar karena tanpa sengaja aku membuat dompet ayahku basah karena ikut tercuci bersama celana panjang yang ia kenakan kemarin.
Ayah berkata bahwa aku harus melakukan pekerjaan dengan benar.

Aku sakit hati dengan kejadian itu. Sejak saat itu aku menjadi malas-malasan jika disuruh melakukan pekerjaan rumah, bagiku sia-sia saja aku bekerja keras jika tidak pernah dihargai. Itulah yang kurasakan.

Aku bersumpah tidak akan melakukan hal yang sama pada anakku. Jika anakku baru belajar bekerja membantu orangtuanya, aku akan berterimakasih dan memujinya. Jika ia melakukan kesalahan, maka akan aku beritahu dengan lembut dan mengajarinya cara melakukan dengan benar. Tanpa bentakan, maupun kata-kata kasar.

5) Memukul anak dengan keras disertai kata-kata kasar


Dalam situasi apapun, memukul anak dengan keras tidak dibenarkan. Apalagi jika sang anak tidak melakukan kesalahan. Saya ingat ketika adik saya masih bayi, suatu pagi dia terbangun dan menangis kencang.

Ibu tidak ada di rumah, mungkin sedang membeli sarapan untuk ayahku. Hari itu aku terbangun karena ayah memukulku dengan handuk hingga motif timbul pada handuk tercetak di wajahku. Ayah memarahiku karena tak segera bangun dan menenangkan adik bayi sehingga tidur ayahku terganggu.

Dengan pikiran yang masih berkabut karena baru bangun tidur dan dada sesak menahan airmata, aku menggendong adik bayiku dan membawa keluar rumah menuju kandang kambing milik tetangga.

 Di sana aku duduk dan berusaha membuat adikku berhenti menangis. Namun adikku terus saja menangis, sedangkan aku sendiri sudah tak kuat untuk menahan airmataku. Akhirnya aku pun menangis, adikku langsung diam melihatku menangis.

6) Mengabaikan kebutuhan anak


Keluarga kami tinggal di sebuah kampung kecil, Gintung Lor namanya. Terletak di Cirebon Barat, Jawa Barat. Kampungku di kelilingi oleh sawah di setiap penjuru. Sehingga untuk pergi ke kampung lain harus berjalan kaki sekitar satu jam, lebih cepat jika mengendarai motor atau mobil.

Saat SMA, aku bersekolah di Ciwaringin, jaraknya 4 Desa dari kampungku. Karena sekolahku jauh, aku harus bangun pagi-pagi sekali. Sebelum berangkat sekolah aku harus mencuci baju terlebih dulu. Baru kemudian mandi dan bersiap ke sekolah.

Dari rumah aku berjalan satu kilometer ke Desa Kedongdong, di sana baru aku naik angkot ke sekolah. Sementara aku berjalan, teman-temanku diantarkan naik sekolah dengan motor orangtuanya, sehingga mereka tak pernah terlambat. Berbeda denganku yang harus berkejaran dengan waktu.

Karena kegiatanku di ektrakurikuler aku selalu pulang terlambat dari sekolah, dan biasanya aku tidak mendapatkan angkot untuk pulang ke rumah. Jadilah aku harus berjalan jauh melewati empat desa demi sampai ke rumah.

Pernah aku meminta untuk dijemput, tapi kemudian aku dimarahi karena dianggap menganggu pekerjaan ayahku jika aku meminta dijemput.

Sejak itu aku tak pernah lagi minta dijemput. Bahkan saat aku harus pulang sore setelah pengayaan sebelum menempuh UAN, aku harus menumpang pada kakak temanku karena ayahku tak mau menjemputku.

Beberapa tahun lalu, saat aku sedang mengerjakan skripsi. Aku pulang menjelang malam dari kota Cirebon, aku meminta ayah menjemputku. Karena aku sudah kehabisan uang untuk ongkos pulang. Tapi ayah sama sekali tak menggubrisku.

Akhirnya dengan berurai airmata aku berjalan kaki pulang ke rumah, meski saat itu malam hari, dan disekelilingku adalah areal persawahan yang luas dan gelap gulita setelah malam tiba.

Sesampainya di rumah, ayah malah marah-marah dan menyuruh belajar mengendarai motor.
Hari itu aku sangat membenci ayahku. Dia tak berpikir bahwa kalaupun aku bisa mengendarai motor, aku tetap saja akan minta dijemput karena aku tak punya motor. Motor yang ada di rumah digunakan oleh ayah dan kakakku. Setiap kali marah ayahku selalu menyalahkan orang lain dan tak pernah mau mengintrospeksi dirinya.

Aku tahu aku tak bisa memilih orangtuaku, karena Tuhan yang memilihkannya untukku. Aku juga tak pernah memiliki angan-angan untuk memiliki orangtua kaya raya atau berpendidikan tinggi. Aku menerima kondisi mereka apa adanya. Hanya saja, aku ingin orangtuaku lebih perhatian dan menunjukkan kasih sayangnya dengan lemah lembut. Bukan dengan kata-kata kasar dan pukulan.

*****

Ini adalah luka hati dan trauma yang kusimpan selama hidup. Meski sekarang usiaku mendekati 30 tahun, luka itu masih ada. Dan aku tetap menangis bila mengingatnya. 

Semua luka ini, semua trauma ini, membuatku takut untuk menikah dan punya anak. Karena kuatir akan mendapatkan pasangan yang abusive seperti ayahku. Takut untuk memiliki anak karena cemas apa yang terjadi padaku terulang pada mereka. 

Adakah yang bisa menolongku untuk menyembuhkan luka hati ini? 

Komentar

  1. Hmmm....hampir sama denganku...hanya berbeda kisah...wah tulisan ini sudah dari 2017..dan aku baca di 2023...hmm trauma masa kecil MMG tidak mudah dilupakan dan ngga akan terlupa ..kalo penulis baca ini...bls ya pesanku

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW CERPEN “ SALAWAT DEDAUNAN “

Review Film Hamari Adhuri Kahani

Quote dari Buku Sang Alkemis Paulo Coelho