{Fiksimini} I Have My Own Choice

“ Dina , kamu masih belum menentukan pilihan juga ? “ tanya ibuku.
“ Dina sudah menentukan pilihan Dina, Bu. Tapi ibu sama bapak yang tak menyetujuinya. “ ucapku.
“ Bukan tak menyetujui, Nak. Tapi kamu kan tahu sendiri kan keadaan Bapak dan Ibu seperti apa, ibu harap kamu bisa mengerti. “
Aku menghela napas panjang, pembicaraan seperti ini sudah seringkali terjadi. Padahal baru sebulan aku lulus dari SMA , tapi aku sudah harus di hadapkan pada pilihan yang menentukan masa depanku. Birani,temen sekelasku sudah terbang ke Arab Saudi seminggu yang lalu untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Aku tak habis pikir dengan keputusannya, buat apa ia sekolah sampai SMA kalau hanya untuk jadi TKW?
Indah, teman mengajiku di mushola waktu kami kecil, minggu depan akan menikah dengan pacarnya. Padahal ia masih seusia denganku, baru 18 tahun. Tapi ia telah memilih untuk mengabdikan dirinya pada seorang lelaki yang disebut suami, di usianya yang masih muda.
Yah , bagi gadis kampung seperti kami memang tak banyak pilihan yang bisa kami putuskanuntuk masa depan. Kalau tidak mau jadi TKW, mungkin jadi PRT di Ibukota. Kalau tidak, menikah dengan orang yang lebih tua, atau yang sebaya dan hidup mengabdi pada suami. Tapi aku tak memilih keduanya. Menikah di usia muda tak ada sama sekali dalam agenda hidupku. Aku ingin hidup mapan dan membantu keluargaku, tapi bukan dengan cara jadi TKW ataupun pergi ke ibukota.  Aku punya pilihanku sendiri yang mungkin akan di anggap aneh oleh sebagian besar teman sebayaku dan kebanyakan orang di kampungku pun akan menganggapnya mustahil.
***
“Lho, Dina? Kamu masih disini aja? “ Tanya Bu Darsih pemilik warung di pasar dekat kampung.
Aku tersenyum kecut, nada bicaranya berisi sindiran halus. Seakan keberadaanku merupakan sebuah kesalahan, memang di kampungku seorang gadis perawan yang sudah lulus sekolah kemudian menganggur, tidak menikah ataupun pergi keluar kampung untuk bekerja, maka akan menjadi bahan gunjingan. Aneh memang, sedangkan banyak sekali pemuda di kampungku yang menganggur, tapi tak pernah jadi bahan omongan.
“ Kamu kenapa gak ikut si Karsih aja anak Bibi, dia sekarang di Bandung kerja di konveksi. Gajinya gede loh, Din. Kalo mau,nanti Bibi yang ngomong ke Karsih. “
Aku tersenyum, dan menggeleng perlahan. Aku pamit pada Bi Karsih, lalu bergegas menuju warnet. Kubuka sebuah situs perguruan tinggi. Senyumku terkembang, ada yang membuncah dalam dadaku ketika aku melihat namaku tercantum sebagai penerima beasiswa sebuah universitas swasta di Ibukota

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW CERPEN “ SALAWAT DEDAUNAN “

Review Film Hamari Adhuri Kahani

Impian Yang Terlarang Dalam Lukisan