PEMIKIRAN GUS DUR , HARUN NASUTION , DAN CAK NUR .
A.                Pemikiran Gus Dur

Gus Dur memiliki pandangan bahwa islam yang rahmatan lil alamin harus benar-benar diterapkan dengan toleransi yang besar. Menurut beliau, mewujudkan islam yang ramah,toleran dan melindungi kaum yang lemah haruslah diterapkan secara benar agar tak ada lagi kaum yang merasa tertindas baik karena agama yang dianut,ataupun latar belakang sosial dan suku yang berbeda. orang yang disebut oleh Syafi’i Anwar sebagai Bapak Pluralisme Dunia ini memang memiliki pandangan yang berbeda tentang pluralisme. Pluralisme bukanlah mencampuradukkan agama melainkan toleransi yang besar kepada sesama umat beragama. Gus Dur menolak negara islam dan beliau juga menolak peraturan daerah berdasarkan syariat islam yang mulai marak menyebar di indonesia. Selain itu,beliau juga mampu mengelaborasi nilai-nilai islam untuk selaras dengan perkembangan zaman serta mendobrak kejumudan cara berpikir dalam menggali hukum-hukum islam. Bisa dibilang Gus Dur mampu mengusung demokrasi dan toleransi ke arah yang lebih real dengan tindakan-tindakan nyata dari beliau yang juga disemangati oleh prinsip islam yang terbuka dan fleksibel.

B.                 Pemikiran Harun Nasution

Prof. Harun Nasution yang sering disebut dekat dengan paham Mu’tazilah ini memang menolak cara berpikir kaum Jabariyah yang menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan,dan manusia tidak memiliki intervensi sama sekali dalam menentukan kehidupannya dalam dunia ini karena semuanya sudah ditentukan oleh takdir Tuhan. Beliau lebih dekat ke paham rasional,lebih lanjut beliau menyatakan bahwa penafsiran nilai-nilai agama yang terlalu lamban tidak sesuai dengan konteks kebudayaan manusia yang berkembang dengan sangat cepat sehingga akan membuat umat islam kehilangan dimensi kreatif-inovatif dalam menginterpretasikan ajaran agamanya. Dalam pandangan beliau,jika umat manusia terlalu fatalis maka akan mudah menyerah pada nasib karena menggantungkan semuanya kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa akal bisa berfikir untuk merespon perkembangan kebudayaan umat manusia. Dan beliau mengingatkan agar umat manusia mampu membedakan mana wahyu yang bersifat universal sehingga tidak terikat dengan ruang dan waktu serta mana wahyu yang bersifat temporal yang sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu sehingga memerlukan penafsiran akal terhadapnya untuk di terapkan pada masa kini.

C.                Pemikiran Cak Nur

Cak Nur mengembangkan sikap berpikir kritis dalam menafsirkan nilai-nilai agama agar sesuai dengan konteks masa kini. Beliau juga menekankan sikap terbuka agar bisa menerima kebenaran,keterbukaan sikap juga bisa disebut tahu diri bahwa kita tidak mungkin meliputi semua pengetahuan yang ada di bumi. Jadi harus bisa membuka diri untuk menerima kebenaran dari orang lain. Tahu diri juga merupakan pengakuan atas ketidakberdayaan kita sebagai manusia dan ketidak terbatasan serta kemutlakan Tuhan. Menurut beliau,sikap terbuka dan tahu diri inilah yang merupakan pangkal iman yang akan menunjukkan jalan kebenaran.

Lebih lanjut daripada itu,Cak Nur juga menerangkan tentang pluralisme, yakni bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa sudah menjadi sunnatullah manusia itu berbeda-beda,memiliki potensi dan perannya masing-masing. Beliau juga mengungkapkan bahwa manusia sebagai mahluk sosial tidak mungkin hidup sendiri,dan persyaratan kehidupan sosial itu ialah adanya suatu aturan yang berdasarkan wahyu ilahi ataupun atas kesepakatan bersama yang ditaati dan dipatuhi bersama. Dalam kehidupan bernegara,beliau banyak mencontoh dari kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi SAW yang mematuhi aturan yang telah disepakati bersama,sehingga setiap warga Madinah bisa melakukan perannya masing-masing dengan rasa aman dan tanpa kekhawatiran sama sekali. Nabi SAW juga berhasil menyatukan penduduknya yang plural,baik dari suku yang berbeda maupun agama yang berbeda sehingga bisa tercipta kehidupan yang rukun dan harmonis.

Dalam konteksnya di Indonesia,bagi Cak Nur, kenyataan pluralisme masyarakat Indonesia itu seharusnya menjadi landasan sosial untuk menampilkan islam secara inklusif dan demokratis. Serta mewadahi seluruh unsur dari setiap lapisan masyarakat dalam satu bangunan tunggal yang bernama Bangsa Indonesia. Beliau menyatakan bahwa wacana pemikiran keislaman yang bercorak pluralis sangat sesuai dengan format masyarakat Indonesia di masa depan.

Selain itu,beliau juga mengutarakan bahwa hubungan antara agama dan politik adalah hubungan pengawasan dari atas oleh agama terhadap wilayah kehidupan sosial politik dibawahnya,sehingga tetap di bimbing oleh pertimbangan akhlak yang mulia. Dengan begitu kehidupan duniawi akan memiliki pijakan etis yang kuat  karena dikaitkan dengan ideologi yang paling mendasar,yaitu keimanan. Kepatuhan kepada hukum adalah tiang pancang manusia beradab.

Beliau juga menuturkan dalam salah satu tulisannya bahwa dunia islam sekarang ini mengalamai predicament(krisis/kegoyahan). Yang salah satu indikasinya adalah perasaan konfrontattif terhadap orang barat. Beliau menyebut hal itu sebagai perasaan karena beliau berpendapat kalau sebetulnya konfrontasi itu tidak ada,yang ada hanyalah persepsi sebagai akibat pengalaman sejarah yang terus diulang secara retorika sehingga akhirnya memunculkan generasi yang seolah anti barat.

Cak Nur menjelaskan kalau sesungguhnya islam itu amalgam,hibrida dari berbagai budaya. Contohnya bangunan masjid yang berbeda-beda arsitekturnya sesuai dengan budaya tempat masjid itu di dirikan dan sesuai keinginan pendirinya,bahkan menara yang sering diidentikkan dengan masjid pun sebenarnya berasal dari kebudayaan orang Majusi penganut Zoroaster yang menjadikan menara sebagai tempat api. Setelah islam meluas,maka suara adzan harus bisa didengar dari radius yang sejauh-jauhnya sehingga dipinjamlah arsitektur Majusi ini,yakni adzan di tempat tinggi. Sedangkan pada zaman Nabi adzan dilakukan hanya  diatas atap rumah yang lebih pendek dari menara. Cak Nur pun menegaskan bahwa yang murni arab itu tidak ada,bahkan dalam Al-Qur’an pun terdapat bahasa serapan dari bahasa-bahasa lain seperti Shirath yang berasal dari bahasa latin ‘strada’ dan kafur yang berasal dari bahasa melayu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW CERPEN “ SALAWAT DEDAUNAN “

Review Film Hamari Adhuri Kahani

Quote dari Buku Sang Alkemis Paulo Coelho