Petualangan Sherina (Dan Aku)
Semalam, aku dan
teman-teman yang masih stay di asrama nonton film Petualangan Sherina. Film
jaudl banget, yang dibuat waktu kami masih SD. PEtualangan Sherina dan Ada Apa
Dengan Cinta menandai kebangkitan perfilman tanah air yang sebelum kehadiran
dua film tersebut sangat lesu karena krisis moneter dan gejolak politik dalam
negeri yang terjadi pada dekadi 90-an hingga awal 2000.
Namun di sini
aku tidak ingin menceritakan peran kedua film itu dalam membangkitkan gairah
perfilman Indonesia yang sempat lesu. Aku ingin bercerita tentang kenanganku
yang terkuak kembali saat dan setelah nonton lagi Film Petualangan Sherina itu
semalam.
Masing-masing
dari kami yang menonton malam itu memiliki kenangan tersendiri akan film
tersebut.
Akan halnya aku, sepanjang menonton film itu ada beberapa luka yang
telah lama terlupa seakan muncul kembali. Luka yang terjadi di masa kecilku
karena beberapa impian yang tak mudah kugapai tersebab keberadaan diriku dan
latar belakang keluargaku.
Di Film
petualangan Sherina, aku menghafal semua lagunya, bahkan kutulis di buku
khusus. Lagu sedih tentang sahabat pun aku implementasikan saat aku harus
berpisah dengan sahabat karibku waktu kecil setelah kami lulus dari MI dan dia
melanjutkan ke PEsantren sedangkan aku tetap sekolah di kampung. Waktu itu, aku
juga membayangkan kelanjutan cerita dari Film Petualangan Sherina melalui
versiku sendiri. Dimana Sadam (yang diperankan Derby Romero) dan Sherina harus
berpisah saat remaja karena Sadam harus meneruskan sekolah keluar negeri kemudian
kembali saat keduanya sudah menjadi dewasa dan terjalinkah kisah cinta. (haha,
padahal masih kecil ,bayangannya udah yg cinta-cintaan mulu.haha LOL)
Film Petualangan
Sherina mengingatkanku pada masa kecilku yang penuh impian namun disaat yang
sama harus menelan kekecewaan karena pahitnya kenyataan dalam hidupku.
Aku ingat
sekali, Film Petualangan Sherina begitu booming saat itu. Majalah Bobo yang
waktu itu menjadi bacaan favoritku membahasnya habis-habisan. Majalah Bobo yang
selalu dibeli oleh sahabatku Iip, karena orangtuanya Kepala Sekolah dan cukup
berada untuk memfasilitasinya dengan segala bentuk bacaan. Aku bisa meminjam
dan berbagi bacaan dengannya karena kami sangat dekat. Aku ingat sekali, aku
dan Iip sering berencana untuk mengirimkan tulisan ke majalah Bobo, namun tak
pernah terlaksana. Saking sukanya kami dengan majalah ini aku sampai pernah
mengumpulkan uang jajan untuk bisa membeli majalah Bobo edisi lama di tukang
loak.
Waktu aku kecil,
di televisi banyak sekali acara untuk anak-anak. Tak seperti sekarang yang
tontonannya di dominasi untuk kalangan orang dewasa. Saat itu, industry hiburan
untuk anak-anak berkembang pesat. Banyak penyanyi cilik hadir di televise, juga
beragam acara yang dibawakan oleh presenter cilik. Salah satunya Agnes Monica
yang membawakan acara Tralala Trilili di RCTI dan Maisy yang membawakan acara
di SCTV setiap jam setengah empat sore. Aku ingat sekali jamnya karena jam
segitu aku harus pergi mengaji ke surau.
Setiap kali
melihat Maisy si penyanyi cilik itu, aku selalu merasa iri. Usianya lebih muda
dariku, tapi ia bisa muncul di televisi membuat aku iri setengah mati. Karena
kehidupanku tak sebagus dia. Aku hidup di kampung yang jauh dari keramaian
perkotaan, sekolah di madrasah swasta yang kurikulumnya selalu ketinggalan
sehingga apa yang diajarkan di sekolah tak pernah muncul di dalam ujian. Karena
soal ujian langsung dari PEMDA. Itulah sebabnya setiap kali ujian aku tak
pernah belajar, karena kurasa itu percuma. Apa yang kubaca takkan muncul di
soal ujian. Untungnya, hobi membacaku membuat aku terbiasa menganalisa soal dan
lebih mudah membayangkan jawaban yang tepat dibandingkan teman-temanku yang tak
suka membaca. Sehingga tak heran nilaiku selalu lebih tinggi dibandingkan
teman-temanku yg lain.
Aku selalu ingin
memiliki kehidupan sepeti yang kubaca di cerpen-cerpen dan buku yang kubaca.
Bisa memiliki kesempatan untuk bertualang kemana pun aku mau, memilliki
teman-teman yang solid dan setia. Memiliki kehidupan remaja yang manis dan
penuh warna. Bahkan hingga remaja aku selalu menangis jika membaca majalah
gaul, karena apa yang digambarkan disana jauh berbeda dengan kehidupanku yang
hanya terbatas di dalam kampung.
Sebuah buku
komik berjudul Olin diberikan Iip saat ulang tahunku yang keempatbelas. Buku
itu bercerita tentang seorang remaja yang bersahabat dengan dua orang berbeda
agama, satu budha satu Kristen. Dia jago bela diri dan memiliki petulangan seru
dalam hidupnya. Aku menangis membacanya. Bukan karena ceritanya yang sedih,
tapi karena aku sadar bahwa aku takkan pernah memiliki kehidupan seperti Olin
yang ceria. Aku merasa hidupku begitu menyedihkan karena tak bisa memiliki
petualangan yang seru seperti itu.
Pokoknya banyak
deh, ironi yang kualami di waktu kecil dulu. Termasuk ketika aku berkhayal bisa
merasakan jadi anak kuliahan tapi kemudian khayalan itu harus terhempas saat
ibuku bilang bahwa kakakku hanya akan sekolah sampai SMA dan langsung bekerja
tanpa kuliah.
Dulu, aku adalah
anak kecil yang punya banyak keinginan. Punya banyak impian dan khyalan. Tetapi
kesemuanya lebih sering berakhir dengan kekecewaan, kecuali beberapa hal yang
memang kuperjuangkan sendiri. Dulu, aku selalu ingin memiliki barang yang
dipunyai oleh temanku, hingga kadang aku suka mencurinya. Padahal setelah
barang itu ditanganku, tak ada gunanya.
Dulu aku selalu
ingin memiliki kehidupan yang berbeda dari yang kualami, sehingga membuatku
sering berkhayal sendiri. Hingga kemudian kutuangkan khayalan tersebut dalam
bentuk cerita, yang kutulis di buku tulisku saat MTs. Jika tinta habis, aku
beli pulpen yang harga 500 perak untuk kembali menulis. Jika buku tulisku telah
penuh dengan ceritaku, aku sisihkan uang jajan untuk membeli buku tulis yang
harganya 500 perak dengan jumlah halaman 50 beserta cover.
Yah, hidupku
dulu penuh dengan ironi. Penuh dengan mimpi yang tak pasti, khayalan yang tak
pernah menjadi kenyataan. Aku ingin menjadi seorang pendekar yang mampu
melindungi diri sendiri, karena itu aku ingin sekali belajar bela diri, namun
di kampungku tak ada yang mengajarkan itu. Semua guru bahasa indonesiaku memuji
cerita yang kutulis sendiri, dan menyarankannya untuk mengirim ke majalah,
namun aksesku untuk melakukannya sangat minim sehingga akhirnya buku-buku
ceirtaku hanya bisa kusimpan didalam kardus dan kuletakkan di loteng rumah, berharap
suatu saat cerita2 itu bsia dibaca orang banyak. (sayangnya buku2 berisi
ceritaku itu sudah hilang, saat ayahku membersihkan loteng, buku-buku itu
dibakar karena menganggapnya tak berguna)
Itulah sekilas
tentang film petualangan Sherina dan aku. Film Petualangan Sherina membawakan
kenangan masa kecilku setiap kali aku menontonnya. Kenangan tentang banyaknya
kekecewaan yang harus kutelan karena keterbatasan hidup tak berimbang dengan
banyaknya keinginan yang ada di dalam hatiku.
Bu Aji punya satu hal, kamu punya modal imajinasi akan masa depan yang diimpikan. Dan mulailah untuk mewujudkannya.
BalasHapusMungkin kenyataan sekarang tak seindah harapan, tapi coba untuk menyemangati diri melakukan perubahan.
Ada quotes yang selalu saya ingat ketika merasa kecewa; "bukan salahmu terlahir miskin, tapi salahmu jika mati dalam kemiskinan."
Gimana bu aji? hehe..
quotenya donald trump, hehe
Hapusiya ci. i believe it!
and i will do it long of my life
Semangat bu aji :)
BalasHapus