Menulis dengan Theater of Mind
Menulis cerita bukan sekedar selesainya kisah. Namun, bagaimana mampu mengatur emosi, membangun suasana, dan memilih bahasa yang tepat untuk memberikan kekuatan maknanya.
Mengatur emosi memiliki keterkaitan dengan managemen konflik. Membangun suasana terkait dengan kemampuan deskripsi. Sedangkan, memilih bahasa adalah kepekaan kita untuk menyampaikan perasaan melalui kata.
Ada beberapa orang yang menanyakan perihal kemampuan menyusun bahasa dalam kisah menjadi hal terpenting. Aku bilang tidak sesederhana itu. Kemampuan mengisahkan, jika tidak ditunjang dengan kemampuan mengatur emosi (managemen konflik) dan renungan pesan maka akan terasa hambar.
Hal yang menjadi luar biasa, jika kisah tersebut mampu menciptakan 'theater of mind'. Artinya, kisah tersebut bergerak sendiri ke pikiran dan perasaan pembaca. Dan ini akan senantiasa terkenang dan di kenang. Inilah sesungguhnya kekuatan cerita.
*Loncat sedikit.
Menulis memang memiliki dan tidak memiliki keterkaitan dengan bakat. Aku cuman bilang, taruh dulu seputar bakat. Karena menulis adalah kedisiplinan, ketekunan, dan kepekaan. Di sisi lain menulis adalah terapan dan lakuan. Artinya, ya terus menulis. Untuk menunjang kemampuan menulis adalah membaca. Jangan pernah membatasi terhadap apa yang harus dibaca.
*Balik lagi.
Membangun 'theater of mind' adalah memasukkan rasa atau jiwa dalam kisah. Ini terkait dengan sensitifitas manusia dalam menyikapi dan menikmati perasaan. Plus, ditunjang dengan runutan peristiwa logisnya.
Hal-hal yang paling dasar adalah mampu menggali dan memaksimalkan unsur dasar pembangunan cerita. Di antaranya adalah tokoh dan penokohan (kakter tokoh), runutan peristiwa yang menjadi alur (jalannya cerita), sudut pandang kisah (pola pengisahan), pembangunan suasana atau latar kisah, dan tema cerita.
***
Bagaimana dengan kerangka cerita?
Kerangka cerita adalah sarana bantu. Artinya, bisa dipakai atau ditinggalkan. Ada beberapa kelebihan jika kita menulis kerangka cerita. Dengan adanya kerangka kita akan mampu meletakkan dan mengatur ritme cerita. Termasuk memanagemen konfliknya. Nah, konflik di sini buka sebuah pertengkaran. Namun, kemunculan masalah yang akhirnya menggelindingkan kisah melalui peristiwa-peristiwanya.
Dengan adanya kerangka, ini menghindarkan diri dari munculnya lanturan yang berlebihan. Selain itu kerangka cerita juga akan memudahkan kita menyusun jalannya cerita. Fokus pada kisah yang hendak disampaikan. Dengan kerangka cerita kita juga akan lebih mudah menelusi data-data yang dibutuhkan jika ini diperlukan.
Namun, ketika kata 'harus' pakai kerangka cerita, aku bilang 'tidak harus'. Karena, sekali lagi, kerangka adalah sarana bantu. Jika memang tidak nyaman, maka lakukan seperti biasanya. Mengalir. Namun, jgn lupa untuk membacanya ulang. Akankah masih berada dalam track-nya?
Selanjutnya.
Konsistensi dan logika cerita sangat penting untuk menghindarkam diri dari keluarnya jalur kisah. Seharusnya jika kita mampu meletakkan logika cerita dengan tepat maka akan terhindar dari keluarnya jalur. Hal ini (logika cerita) tentu terkait dengan bagaimana tokoh dan penokohannya. Artinya, dengan karakter tokoh yang terbentuk atau yang melekat, tentu akan memiliki penyikapan yang tetap dalam menyikapi masalah.
Nah, dengan kuatnya karakter tokoh maka konflik akan berjalan mengalir. Jika sampai terjadi tolak belakang dengan karakter tokoh, maka ini akan menyesatkan kisahnya itu sendiri atau inkonsistensi.
Peristiwa juka akan terkontrol jika kita sadar bagaimana karakter tokoh tersebut bersikap atas sebuah masalah.
***
*Loncatan pikiran:
Di pagi yang beranjak dewasa ini, aku masih saja berkarib dengan rasa malas. Ah, memanjakan tubuh dengan terkapar di sofa memang sangat menyenangkan. Enggan rasanya beranjak dari kondisi yang sangat nyaman ini. Memang, benar ya, rasa nyaman itu jika terusik akan membuat kacau rasa, bahkan hilang mood. Namun, harus bagaimana lagi. Ini namanya tuntutan, ya, sekali lagi tuntutan yang memaksaku harus bangkit.
"Mas banguuunn!"
Huftt. Berisik banget ya.
Ah, barangkali segarnya air yang mengguyur tubuh akan memberikan nuansa lain. Tapi, bagiku kali ini, mandi adalah kegiatan yang sangat membosankan, memuakkan, dan tidak menyenangkan. Meskipun begitu, aku tetap harus mandi. Aku harus mandi. Aku harus...
"Mandiiiiiinnnnnnn!"
Heh?
Lanjut lagi. Tapi ngopi dulu, ah!
Cleguk! cleguk!
***
Pembangunan suasana itu merupakan kepekaan dan kemampuan kita menyimak dan mencermati konsisi sekeliling. Bukan hanya yang terlihat oleh mata, namun juga yang terasa oleh hati. Artinya, dalam pembangunan suasana hal terpenting adalah membuka sega penginderaan kita.
"Eh, ngomong-ngomong, indra kemana ya? Bodo, ah! ngapain juga aku ngebahas indra ya, lha wong indranya aja masih nyungsep di kos."
Lanjut ah,
"Indra itu memang pemalas. Ya, kalau terkait dengan ujian di pagi hari di kampusnya. Welah, pasti bakal ujian susulan. Belum lagi kalo harus pake sepatu ke kampus. Beuh, bisa mbolos saban harinya. Nah, loh! Kenapa juga aku bahas indra lagi ya? hihi..."
Udahan, ah!
-Handoko F Zainsam-
Mengatur emosi memiliki keterkaitan dengan managemen konflik. Membangun suasana terkait dengan kemampuan deskripsi. Sedangkan, memilih bahasa adalah kepekaan kita untuk menyampaikan perasaan melalui kata.
Ada beberapa orang yang menanyakan perihal kemampuan menyusun bahasa dalam kisah menjadi hal terpenting. Aku bilang tidak sesederhana itu. Kemampuan mengisahkan, jika tidak ditunjang dengan kemampuan mengatur emosi (managemen konflik) dan renungan pesan maka akan terasa hambar.
Hal yang menjadi luar biasa, jika kisah tersebut mampu menciptakan 'theater of mind'. Artinya, kisah tersebut bergerak sendiri ke pikiran dan perasaan pembaca. Dan ini akan senantiasa terkenang dan di kenang. Inilah sesungguhnya kekuatan cerita.
*Loncat sedikit.
Menulis memang memiliki dan tidak memiliki keterkaitan dengan bakat. Aku cuman bilang, taruh dulu seputar bakat. Karena menulis adalah kedisiplinan, ketekunan, dan kepekaan. Di sisi lain menulis adalah terapan dan lakuan. Artinya, ya terus menulis. Untuk menunjang kemampuan menulis adalah membaca. Jangan pernah membatasi terhadap apa yang harus dibaca.
*Balik lagi.
Membangun 'theater of mind' adalah memasukkan rasa atau jiwa dalam kisah. Ini terkait dengan sensitifitas manusia dalam menyikapi dan menikmati perasaan. Plus, ditunjang dengan runutan peristiwa logisnya.
Hal-hal yang paling dasar adalah mampu menggali dan memaksimalkan unsur dasar pembangunan cerita. Di antaranya adalah tokoh dan penokohan (kakter tokoh), runutan peristiwa yang menjadi alur (jalannya cerita), sudut pandang kisah (pola pengisahan), pembangunan suasana atau latar kisah, dan tema cerita.
***
Bagaimana dengan kerangka cerita?
Kerangka cerita adalah sarana bantu. Artinya, bisa dipakai atau ditinggalkan. Ada beberapa kelebihan jika kita menulis kerangka cerita. Dengan adanya kerangka kita akan mampu meletakkan dan mengatur ritme cerita. Termasuk memanagemen konfliknya. Nah, konflik di sini buka sebuah pertengkaran. Namun, kemunculan masalah yang akhirnya menggelindingkan kisah melalui peristiwa-peristiwanya.
Dengan adanya kerangka, ini menghindarkan diri dari munculnya lanturan yang berlebihan. Selain itu kerangka cerita juga akan memudahkan kita menyusun jalannya cerita. Fokus pada kisah yang hendak disampaikan. Dengan kerangka cerita kita juga akan lebih mudah menelusi data-data yang dibutuhkan jika ini diperlukan.
Namun, ketika kata 'harus' pakai kerangka cerita, aku bilang 'tidak harus'. Karena, sekali lagi, kerangka adalah sarana bantu. Jika memang tidak nyaman, maka lakukan seperti biasanya. Mengalir. Namun, jgn lupa untuk membacanya ulang. Akankah masih berada dalam track-nya?
Selanjutnya.
Konsistensi dan logika cerita sangat penting untuk menghindarkam diri dari keluarnya jalur kisah. Seharusnya jika kita mampu meletakkan logika cerita dengan tepat maka akan terhindar dari keluarnya jalur. Hal ini (logika cerita) tentu terkait dengan bagaimana tokoh dan penokohannya. Artinya, dengan karakter tokoh yang terbentuk atau yang melekat, tentu akan memiliki penyikapan yang tetap dalam menyikapi masalah.
Nah, dengan kuatnya karakter tokoh maka konflik akan berjalan mengalir. Jika sampai terjadi tolak belakang dengan karakter tokoh, maka ini akan menyesatkan kisahnya itu sendiri atau inkonsistensi.
Peristiwa juka akan terkontrol jika kita sadar bagaimana karakter tokoh tersebut bersikap atas sebuah masalah.
***
*Loncatan pikiran:
Di pagi yang beranjak dewasa ini, aku masih saja berkarib dengan rasa malas. Ah, memanjakan tubuh dengan terkapar di sofa memang sangat menyenangkan. Enggan rasanya beranjak dari kondisi yang sangat nyaman ini. Memang, benar ya, rasa nyaman itu jika terusik akan membuat kacau rasa, bahkan hilang mood. Namun, harus bagaimana lagi. Ini namanya tuntutan, ya, sekali lagi tuntutan yang memaksaku harus bangkit.
"Mas banguuunn!"
Huftt. Berisik banget ya.
Ah, barangkali segarnya air yang mengguyur tubuh akan memberikan nuansa lain. Tapi, bagiku kali ini, mandi adalah kegiatan yang sangat membosankan, memuakkan, dan tidak menyenangkan. Meskipun begitu, aku tetap harus mandi. Aku harus mandi. Aku harus...
"Mandiiiiiinnnnnnn!"
Heh?
Lanjut lagi. Tapi ngopi dulu, ah!
Cleguk! cleguk!
***
Pembangunan suasana itu merupakan kepekaan dan kemampuan kita menyimak dan mencermati konsisi sekeliling. Bukan hanya yang terlihat oleh mata, namun juga yang terasa oleh hati. Artinya, dalam pembangunan suasana hal terpenting adalah membuka sega penginderaan kita.
"Eh, ngomong-ngomong, indra kemana ya? Bodo, ah! ngapain juga aku ngebahas indra ya, lha wong indranya aja masih nyungsep di kos."
Lanjut ah,
"Indra itu memang pemalas. Ya, kalau terkait dengan ujian di pagi hari di kampusnya. Welah, pasti bakal ujian susulan. Belum lagi kalo harus pake sepatu ke kampus. Beuh, bisa mbolos saban harinya. Nah, loh! Kenapa juga aku bahas indra lagi ya? hihi..."
Udahan, ah!
-Handoko F Zainsam-
Komentar
Posting Komentar